Banyak orang beranggapan bahwa pendidikan karakter anak pada zaman dahulu lebih bagus dibandingkan zaman sekarang. Sepertinya anggapan tersebut benar adanya, karena melihat sikap sebagian besar anak zaman sekarang yang kian membuat orang dewasa mengelus dada. Anak SD banyak melawan guru dan orang tuanya, terlibat perkelahian, merokok, menggunakan obat terlarang hingga melakukan tindak asusila.
Jika kita mencermati kembali, masalah ini berkembang semakin parah seiring dengan meningkatnya kecanggihan teknologi yang tidak terkontrol. Kebebasan anak-anak mengakses internet dengan segala dunianya, membuat mereka terfokus hanya pada apa yang mereka lihat di internet. Mereka menganggap apa yang terjadi di luar sana adalah hal yang wajar dilakukan, bahkan sangat keren untuk ditiru. Ya, itulah salah satu dampak negatif kecanggihan teknologi.
Meski buruk bagi aspek moral anak, namun perkembangan teknologi tetap saja tidak dapat dicegah. Kita tidak dapat menghentikan laju teknologi, namun yang dapat kita lakukan yaitu memperketat pengawasan dan pendidikan karakter kepada anak. Dua peran yang paling bertanggung jawab dalam mengemban tugas ini yaitu orang tua dan guru/pendidik. Keduanya sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter anak.
Menjadi seorang guru berarti sama halnya dengan menjadi orang tua si anak di sekolah. Ya, menjadi guru bukan sekadar bertanggung jawab memberikan asupan pelajaran, tetapi juga harus mampu mendidik moral, etika, integritas dan karakter. Sulitkah mendidik karakter siswa? Berikut hal-hal sederhana yang bisa dilakukan guru untuk membangun karakter pada anak didik.
1. Jadikan diri sebagai contoh. Guru adalah role model bagi siswa, yang berarti bahwa siswa akan menganggap guru sebagai contoh dalam berperilaku. Sikap baik maupun buruk yang dimiliki oleh guru, sedikit atau banyak pasti dapat mempengaruhi bagaimana cara siswa bersikap dengan sesama. Oleh karena itu, guru harus terlebih dahulu mengokohkan karakter diri sendiri. Guru harus pandai dalam menjaga sikap untuk memberikan contoh yang terbaik.
2. Jangan hanya menilai siswa dari hasil akademis, tetapi juga mengapresiasi usaha siswa. Hasil akademis siswa memang penting, namun ada banyak hal lain yang juga sama pentingnya dengan skor nilai akademis. Misalnya karakter tepat waktu, kerajinan, kegigihan, kerjasama yang baik dll. Siswa yang gagal mendapatkan skor nilai tinggi, belum tentu karena dia malas. Jika ia telah berusaha dengan gigih, maka guru juga harus mengapresiasi kegigihannya tanpa menghakimi nilainya yang rendah. Hal ini dapat membuat siswa ikut mengapresiasi diri atas usaha yang telah dilakukan, sehingga akan terbangun karakter yang terus mau belajar dan memperbaiki diri.
3. Ajarkan juga nilai moral yang terselip pada setiap pelajaran. Materi baku pelajaran sudah tertulis dalam buku, namun tidak dengan nilai-nilai moral yang terselip. Sebaiknya guru juga menanamkan nilai-nilai moral yang terkait pada setiap pelajaran. Misalnya saat pelajaran matematika, guru mengajarkan bahwa dengan mengerjakan soal matematika kita bisa belajar untuk bersabar, dan berusaha memecahkan masalah dengan mengasah logika berpikir. Hal ini dapat membangun karakter optimis dan analisis logis siswa saat menghadapi masalah yang lebih berat.
4. Jujur pada diri sendiri dan terbuka pada kesalahan. Guru juga manusia yang tidak bisa luput dari kesalahan yang tak disengaja. Misalnya, guru datang terlambat atau salah mengoreksi jawaban siswa. Untuk memberikan contoh yang baik, guru sebaiknya mau mengakui kesalahan, sekecil apapun itu. Hal ini akan menjadi pelajaran bagi siswa bahwa kejujuran dan sportifitas itu sangat penting. Namun, sportifitas juga harus disertai dengan usaha untuk memperbaiki kesalahan dan bertanggung jawab terhadap konsekuensi atas kesalahannya.
5. Ajarkan sopan santun dan cara bersikap yang baik dalam hal terkecil sekalipun. Pengajaran cara bersikap di sekolah seringkali hanya pada permukaannya saja, tidak mendalam hingga ke sikap paling sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, guru harus dapat mengajarkan mana-mana saja sikap yang benar dan salah, termasuk hal kecil yang sering dilakukan bahkan dianggap lumrah oleh masyarakat. Saat ada siswa yang melakukan kesalahan, sebaiknya guru mengoreksi sekaligus memberikan solusi alternatif tindakan lain, dengan cara yang halus namun tegas.
Ki Hadjar Dewantara telah jauh berpikir dalam masalah pendidikan karakter melalui konsep Trilogi Pendidikan yang ia kemukakan. Trilogi pendidikan tersebut berisi atas 3 semboyan, yaitu ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa dan tut wuri handayani. Tut wuri handayani berarti ‘dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan’, ing madya mangun karsa artinya ‘di tengah murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide’ dan ing ngarsa sung tulada berarti ‘di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik’.
Sudah waktunya guru-guru meninggalkan metode lama mengajar yang hanya sekadar melaksanakan tuntutan tugas dan mengejar target kurikulum semata, sehingga tidak memiliki idealisme menjadi seorang pendidik. Guru dituntut untuk kembali menjadi seperti yang Ki Hajar Dewantara katakan, yakni seorang yang ing ngarso sing tulodo, ing madyo mangun karso dan tut wuri handayani. Guru yang bukan hanya mengajar, tapi juga mendidik.
Aktualisasi ajaran Ki Hajar Dewantara di era globalisasi ini berguna untuk membangun karakter bangsa. Pendidikan karakter ini akan membebaskan Indonesia dari predikat negara terkorup, birokrasi terburuk dan lain-lain, di mana semuanya itu disebabkan oleh lemahnya sistem pendidikan yang berkarakter budaya Indonesia. Perlu langkah bersama untuk mewujudkannya, sehingga Indonesia berubah jadi bangsa berkarakter tinggi.
Penulis: Intan Ramadana, Mahasiswa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta
Editor: Lia, Pendidikan.id